Nada-nada indah mengalun di kamarku. Aku merasa tenang saat
memainkan piano kesayanganku. Tetapi…uh, aku berhenti “selalu saja kesalahan
yang sama” gumamku penuh keheranan.
“Huh… kenapa selalu salah di bagian ini?” Aku membolak-balik
kertas bertuliskan not-not balok di hadapanku.
“Lagi kesal ya, Ra?” Aku tersentak. Suara itu benar-benar
mengagetkanku. Semua kertas berhamburan di lantai, aku tidak berani mengubah
posisi dudukku.
“Mutia… kamu harus janji kalau setelah ini kamu nggak akan
mengagetkanku lagi,” Pintaku.
“Kenapa Ra?” tanyanya. Aku mendesah pelan, lalu kuserahkan
kertas-kertas yang baru ku pungut dari lantai. Ekspresi wajah Mutia berubah
setelah melihatnya.
“Sound Of Music…”
gumamnya.
“aku tak bisa memainkan dengan sempurna Mut. Lagu ini mengingatkanku……”
“pada hari kematianku, kan?” jawab Mutia dengan santai namun
jelas. Bahwa pada saatnya seseorang akan pergi meninggalkan dunia, tanpa
memikirkan kesedihan orang yang telah di tinggalkannya. Aku hanya menggangguk
pelan.
“tok..tok..tok..” pintu kamarku di ketuk.
“Tiara, waktunya makan siang. Mama tunggu di bawah ya,”
suara Mama dari balik pintu kamarku. Aku dan Mutia saling berpandangan.
“Sebentar Ma!” jawabku.
“aku tahu aku harus pergi sekarang, kan?” sahut mutia sedih.
Aku berusaha keras menahan air mataku.
“andai ada peri yang mengizinkanku mengajukan permintaan,
aku ingin kamu hidup kembali, Mut,” dengan berat kuberanjak menuju ruang makan
meninggalkan Mutia yang terlihat sedih.
Mutia, saudara kembarku yang meninggal 3 tahun yang lalu.
Saat itu kami berusia 10 tahun. Dan hari itu adalah hari yang tak bias
kulupakan. Waktu itu kami baru saja selesai mengikuti les musik. Kami sangat
senang karena hari itu pertama kalinya lagu Sound Of Music kami mainkan dengan sempurna.
Hari itu , hampir satu jam kami menunggu Pak kodar menjemput
kami. Aku masih ingat waktu itu Mutia bosan dan mengajakku bermain. Beberapa
saat kemudian, aku menyaksikan sendiri bagaimana sebuah mobil menabraknya. Aku
menjerit, tubuh Mutia terbaring lemas di atas aspal. Hampir 5 bulan aku tidak
menyentuh pianoku, hingga suatu malam Mutia dating dan mengajariku untuk
tersenyum lagi. Aku berjanji akan merahasiakan keberadaannya pada siapapun. Aku
kembali bermain piano. Hanya saja, lagu Sound Of Music tak pernah kumainkan
lagi.
Hari pementasanpun tiba……
“jangan suka melamun…”
Mutia tersenyum dengan bibirnya yang pucat.
“Mut, aku mau mengundurkan diri dari pementasan.” Mutia
menggengam tanganku.
“kita akan memainkan bersama. Aku bias masuk ke dalam
dirimu. Diri kita akan menjadi satu.” Aku hampir tak percaya mendengarnya. Aku
menatap wajahku di cermin. Aku berusaha menenangkan diriku karena aku yakin
memainkannya bersama Mutia. Kami pasti berhasil.
“Tiara giliranmu,” Bu Asti memanggilku. Aku melangkah ke
panggung. Ku buka buku di hadapanku, lalu mulai memainkannya. Aku melakukannya
tanpa melakukan kesalahan satupun. Aku membungkuk, member hormat pada penonton.
Aku terkejut saat melihat Mutia duduk di antarapara penonton. Ia melambaikan
tangan kepadaku dan tersenyum dengan manisnya, wajahnya putih bersih tak ada
lagi warna pucat menghiasi wajahnya. Aku segera berlari ke belakang panggung.
Aku berusaha mencari Mutia. Namun seseorang menghampiriku dan memberikan
sepucuk surat kepadaku. Aku segera
membukanya dan membacanya.
“Tiara, saat kamu membaca surat ini, aku sudah berada jauh
darimu. Aku harus kembali. Kamu berhasil memainkan lagu itu tanpa bantuanku.
Kepercayaan dirimu telah pulih kembali. Karena itulah aku akan pergi. Jangan
pernah putus asa ya, Tiara!” “Salam
manis, Mutia.”
Aku tak bias menahan air mataku, kudekap erat surat itu. Aku
tak menyangka Mutia benar-benar pergi. Dan aku berjanji akan menjadi yang dia
inginkan. Kini aku sudah menjadi pianis terkenal. Dan di setiap penampilanku,
aku selalu memainkan Sound Of Music. Kupersembahkan semua keberhasilanku untuk
Mutia di Surga.
TAMAT
By : Wind
Universitas Jember
0 komentar:
Posting Komentar